Assalamualaikum Wr. Wb.
Haloo, gimana kabarnya semua? Selamat hari Senin.. :D
Libur weekend kemarin saya tepar, badan sakit semua. Karena malas ngapa-ngapain, akhirnya saya baca buku aja. Kebetulan minggu kemarin saya baru pesen 4 buku Pidi Baiq yang merupakan tetralogi berjudul Drunker Monster, Drunken Mama, Drunken Molen, dan Drunken Marmut.
Sebenarnya, buku-buku semacam ini awalnya tidak menarik minat saya andai saya belum membaca buku Dilan dan Milea yang sebelumnya sudah pernah saya bahas disini. Liat sampulnya aja udah keliatan absurd, takutnya dalemnya lebih absurd lagi. Yaah, walaupun ada pepatah mengatakan don't judge the book by it's cover tapi buat saya justru dari cover lah saya kebanyakan menilai isi suatu buku. Makanya jangan heran, kadang banyak buku yang saya beli ujung-ujungnya teronggok di pojokan lemari karena ternyata isinya nggak menarik. hiks
Sekilas tentang Penulis :
Pidi Baiq atau yang akrab dipanggil Surayah adalah seorang seniman multitalenta, seorang penulis, pencipta lagu, penyanyi, ilustrator, dan komikus. Beliau adalah Imam Besar The Panasdalam. Kalau kalian tengok bioskop sekitar akhir bulan Maret nanti ada film Indonesia berjudul BARACAS alias Barisan Anti Cinta Asmara, nah itu yang bikin adalah Surayah bekerjasama dengan PH Maxima Pictures.
Identitas Buku :
Judul : Drunken Monster
Penulis : Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Books
Kota Terbit : Bandung
Tahun Terbit : 2015
Cetakan : Ke-IV
Deskripsi Fisik : 292 hlm.; 20,5cm.
ISBN : 978-602-7870-67-3
Begitu membuka buku, maka kita akan menemukan 2 kata pengantar yang diberikan oleh Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB dan Dr. Yasraf Amir Piliang. Prof. Dr. Bambang Sugiharto menyebut buku ini berbahaya dikarenakan berisi kumpulan cerita gila dengan kalimat pendek-pendek tidak terstruktur, kerap berlompatan dan merusakkan syaraf tertawa (hlm. 5). Buku ini adalah buku terapi tidak ilmiah. Tidak disarankan bagi mereka yang sakit jiwa tapi wajib dibaca oleh mereka yang sehat dan waras, terutama pekerja dan pemikir yang sering lupa bermain (hlm. 7).
Sementara itu, Dr Yasraf Amir Piliang sendiri menyatakan bahwa buku ini mengajak kita keluar dari normalitas kebudayaan untuk mengembara dalam dunia kemungkinan bahasa tak bertepi. Bahasa dan kebudayaan selama ini menjadi semacam bingkai dari normalitas, yaitu sisem aturan yang membatasi. Bingkai bahasa memasukkan yang relevan dan meminggirkan yang tak relevan, menawarkan yang menarik dan membungkam yang tidak menarik, merayakan yang harmoni dan menyumpal yang sumbang. Bingkai budaya mengekspos yang estetis dan mencampakkan yang buruk, menghargai yang logis dan memberangus yang tak logis, menampilkan yang esensial dan membuang yang banal. Buku ini mencoba melepaskan kita dari bingkai bahasa dan budaya semacam itu (hlm. 11)
Nah, kata pengantar dari beliau berdualah yang bikin saya tambah semangat buat baca buku ini.
Buku DRUNKEN MONSTER ini terdiri dari 18 Sub Judul Buku, Air Lembang Panas, Drunken Monster, Jalan ke Mana-mana, Jalan-jalan Minggu, Mengejar Kereta, Institut Tahi Burung, Pulang dari Jakarta, Mangga Monyet, Hari Senin, Oh Kerja, Martinus O, Manggo Mimo, Noor Rosak, Ronda, Ayah Sakit, Dayat, Angkot Kiri, dan Ojek Nyegik. Dari sub judulnya aja udah bisa nebak isinya pasti banyakan absurd-nya. Iya, semuanya memang berisi keseharian yang tidak biasa dari Penulis yang penuh dengan kekonyolan dan kejayusan, seolah dia ingin menunjukkan bahwa dengan berbuat hal-hal konyol tersebut membuat dirinya bebas dan gembira.
Jujur, awalnya saya agak sedikit bingung buku ini tentang apa, mungkin karena selera humor saya yang saya akui agak dibawah rata-rata. Terlebih ketika membaca cerita pertama yang berjudul Air Lembang Panas. Disitu, Penulis bercerita tentang mengajak 10 orang karyawannya mandi air panas di daerah Lembang, Bandung. Kalau cuma mandi air panas aja sih pasti biasa ceritanya. Nah, gimana jadinya kalau dia mengaku membawa rombongan dari Rumah Sakit Jiwa Ujung Kulon? Penasaran kan?
Kemudian pada cerita selanjutnya yang berjudul Drunken Monster, disitu bercerita bagaimana dia menghadapi istrinya yang marah karena dia pulang larut malam tanpa memberi kabar. Ketika ditanya, jawabannya adalah karena dicegat monster. Jayus siih, mana ada yang percaya sama begituan. Tapiii, ternyata dia ada maksud lho kenapa menjawab seperti itu
"Saya kira malam indah seperti ini tak akan pernah ada, kalau saja tadi begitu sampai rumah, saya langsung memasang muka perang untuk membuat istri tidak berani menegur. Atau kalau dia menegur, saya langsung balik marah dan memberinya tamparan karena menilai dia sudah berani ngatur suami. Kalau iya begitu, tenggorokannya pasti akan tersekat karena harus menahan rasa marah dan bencinya. Dibawanya sampai tidur, sampai pagi, sampai besok, mungkin sampai berhari-hari, sampai membuat rumah jadi penuh dengan udara permusuhan"
Nah ketangkep kan maksud Pidi Baiq menjawab seperti itu. Memang nyeleneh sih, saya aja sempet mikir istrinya apa nggak marah kalau jawabannya ngaco gitu. Eh ternyata istrinya malah jadi penasaran sama cerita Pidi Baiq ketika dicegat monster tersebut dan ujung-ujungnya nggak jadi marah, hehe..
Cerita lain yang menarik perhatian saya berjudul Mengejar Kereta. Ceritanya kala itu Pidi Baiq dalam perjalanan di kereta menuju Jakarta. Di kereta, kebetulan dia duduk bersebelahan dengan seorang perempuan berusia sekitar dua puluh tahunan. Melihatnya asyik melamun, muncullah ide untuk menjaili. Caranya dengan berpura-pura mengigau.
"Mama... Mama... Hidup Elli, Mama!" dengan mata terpejam dan kepala menyandar di sandaran kursi, saya bersuara seperti itu. Keren, tidak? Mama yang saya maksud adalah Mama Anna. Tahu kan mamanya Ellyas Pical? Petinju professional yang dulu pernah membuat heboh karena jadi juara dunia kelas bantam. Saya bilang "Mama" dengan volume suara asal, yang penting si Teteh bisa mendengar. Yang penting si Teteh menyangka saya sedang mengigau, padahal tentu saja pura-pura. Maunya saya akan terus mengigau sampai si Teteh itu menyuruh saya lekas bangun.
Hahaaa aneh kan, jayus beneer. Kalau orang "normal" mesti nggak bakal ngapa-ngapain, apalagi ketika liat orang sebelahnya emang nggak minat untuk ngobrol. Kalo saya sih iyaaa, paling mentok maen HP sendiri.
Nah disitulah uniknya, dengan caranya sendiri dia coba membangun komunikasi dengan orang lain. Yaaah, walaupun mungkin menurut sebagian besar orang jatuhnya jayus dan nggak banget.
Baca buku ini kadang mau nggak mau bikin saya tertohok. Bagaimana seorang Pidi Baiq membuat semua hal jadi seolah lucu buatnya bahkan sekedar beramah tamah dengan orang-orang yang ditemuinya. Hal yang sebenarnya gampang tapi sukar dilakukan, nah lhoo.. iya apa iya? Buat saya iya. Apalagi saya yang emang nggak doyan basa-basi sama orang. Andai ada orang seperti Pidi Baiq berkeliaran di sekitar saya, pasti ucapan yang akan saya lontarkan "Apaan siiih ini orang?"
Dengan bertambahnya usia, sense of humor kita sebagai manusia pun kadang berkurang. Pasti pernah dong buat kalian yang seusia saya, sudah bekerja dan berkeluarga, ingin gitu balik ke masa anak-anak. Kayanya liat anak-anak itu nggak ada beban. Bebannya mungkin pas UAN aja, lainnya paling mentok berantem sama temen, dimarahi ortu or guru. Dengan membaca buku ini, saya banyak tersindir. Hal-hal tidak perlu yang dilakukan Pidi Baiq ini justru saya perhatikan jadi semacam sindiran buat kita orang dewasa, bagaimana memaknai hidup yang kadang kita lupa arti hidup ini dan terlampau serius hingga membuat kita kehilangan kepedulian terhadap sesama.
"Sesampainya di rumah, saya dapati Timur sudah ada, sudah pulang sekolah, dan sedang bermain bersama Bebe. Langsung saya bergabung dengan mereka. Langsung bermain dengan mereka. Memasuki dunia mereka yang sederhana, tapi seru. Dunia yang nyaman, yang menyenangkan. Bikin males mau kerja. Lagian, uang sudah banyak pun. Mau apa lagi? cuma tinggal santai dan ngirim SMS buat istri tercinta yang sedang bekerja di kantornya :
"Ibu, apa yang kamu cari? (Ayah, Timur, dan Bebe)."
Wow, langsung dibalas :
"Cari uang!"
Oh ya, saya kirimi lagi SMS
"Emangnya, uang Ibu hilang?"
Tak ada jawaban, tentu saja, dia kan lagi sibuk cari uang.
Glodak!
Sindiran halus buat saya yang berstatus ibu 1 anak balita dan bekerja ini. Hayooo para orang tua pekerja, ngaku deh berapa jam sehari kalian luangkan waktu dengan anak-anak kalian? Bahkan kadang pulang kerja masih harus nyelesaikan kerjaan kantor. Adaaa yang seperti itu.
Ada lagi ni cerita ketika pulang kerja malam-malam dan bertemu dengan Mang Ikun si tukang becak. Bukan, Pidi Baiq bukan maksud mau naik becak karena pada waktu itu dia mengendarai motor. Tapi si Mang Ikun disuruh antar motornya ke rumah sedangkan dia yang ngayuh becak. Ngaco kan? Singkat cerita Mang Ikun-pun bersedia. Sembari mengayuh becak yang ternyata tidak semudah yang dipikirnya selama ini, dia berpikir :
"Baru beberapa meter saja membawa becak, saya sudah merasa tidak enak pada otot bagian betis dan selangkangan. Bayangkan, ini baru sekali membawanya, apalagi Mang Ikun yang harus setiap hari. Ya, ya, ya mau tak mau, Mang Ikun harus mau. Kalau tidak, nanti Mang Ikun tidak akan punya uang untuk menghidupi anak istrinya. Hai Mang Ikun, saya mau nanya, apakah Mang Ikun suka mengeluh?"
Lagi-lagi, sebenernya cerita itu untuk mengingatkan bagi siapa saja yang gampang mengeluh. Dan yaaah lagi-lagi saya merasa tersindir. Begitu baca buku ini dan berpikir tentang kehidupan saya sekarang, saya jadi semakin bersyukur. Padahal masih sering lho saya ngeluh-ngeluh yang kerjaannya begini lha, yang kerjaannya begitu lha. Sedangkan di luar sana, banyaaak sekali yang tidak seberuntung saya. Makasih Ayah sudah ngingetin..
Akhir kata, saya suka buku ini. Walaupun susunannya terkesan amburadul, tidak menggunakan bahasa selayaknya Bahasa Indonesia yang baik dan benar, bahkan nyerempet pun engga. Isinya seputar tingkah laku aneh bin ajaib Penulis. Tapi beberapa hal seperti yang saya sebutkan di atas, menyentil kehidupan sehari-hari saya.
Yaah, tapi sekali lagi, sesuai judulnya buku ini berupa kumpulan kisah tidak teladan, jadi ya cukup diresapi maknanya aja, diambil yang baik-baiknya. Yaaah ibarat kata kita makan durian, jangan langsung dimakan mentah-mentah, bisa bahaya. heheee..
Cuma ada satu yang mengganjal hati, kenapa di sini Surayah suka bagi-bagi uang? entah maksudnya mungkin sebagai ganti udah menjaili atau entah buat apa ya? Kan si ayah sendiri yang bilang kalau kita ngasih-ngasih gitu nggak usah dipamerin, nanti jatuhnya riya'. Ada yang bisa jawab kenapa?
Anw, mau gimana pun saya tetep suka sama buku ini terlepas dari banyaknya pro dan kontra. Next, mari kita lanjut cerita selanjutnyaaaaaa..
"Manusia telah menjadikan hidup terlampau serius, terencana, dan rasional hingga hidup tak lagi menawan, menggemaskan, dan orang terjangkit amnesia massal alias lupa. Lupa tertawa. Lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan. Lupa bahwa hidup sebuah permainan indah yang mengasyikkan" Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB
Yaah, tapi sekali lagi, sesuai judulnya buku ini berupa kumpulan kisah tidak teladan, jadi ya cukup diresapi maknanya aja, diambil yang baik-baiknya. Yaaah ibarat kata kita makan durian, jangan langsung dimakan mentah-mentah, bisa bahaya. heheee..
Cuma ada satu yang mengganjal hati, kenapa di sini Surayah suka bagi-bagi uang? entah maksudnya mungkin sebagai ganti udah menjaili atau entah buat apa ya? Kan si ayah sendiri yang bilang kalau kita ngasih-ngasih gitu nggak usah dipamerin, nanti jatuhnya riya'. Ada yang bisa jawab kenapa?
Anw, mau gimana pun saya tetep suka sama buku ini terlepas dari banyaknya pro dan kontra. Next, mari kita lanjut cerita selanjutnyaaaaaa..
"Manusia telah menjadikan hidup terlampau serius, terencana, dan rasional hingga hidup tak lagi menawan, menggemaskan, dan orang terjangkit amnesia massal alias lupa. Lupa tertawa. Lupa pada kekonyolan manusia yang kerap menggelikan. Lupa bahwa hidup sebuah permainan indah yang mengasyikkan" Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat di Unpar dan ITB
"Kenapa sih saya ini suka melakukan hal yang sebenarnya tidak perlu dilakukan? Tuhan, maafkan saya. Tapi, hidup di bumi dengan cuma melakukan hal yang biasa saja, saya suka merasa tidak melakukan apa-apa" Bandung, 3 September 2007
Rate : 4/5
No comments:
Post a Comment